A homepage subtitle here And an awesome description here!

Selasa, 03 Juli 2012

Janganlah Ingkar Janji

Janji memang ringan diucapkan
namun berat untuk ditunaikan.
Betapa banyak orangtua yang
mudah mengobral janji kepada
anaknya tapi tak pernah
menunaikannya. Betapa banyak
orang yang dengan entengnya
berjanji untuk bertemu namun tak
pernah menepatinya. Dan betapa
banyak pula orang yang berhutang
namun menyelisihi janjinya.
Bahkan meminta udzur pun tidak.
Padahal, Rasulullah telah banyak
memberikan teladan dalam hal ini
termasuk larangan keras
menciderai janji dengan orang-
orang kafir.
Manusia dalam hidup ini pasti ada
keterikatan dan pergaulan dengan
orang lain. Maka setiap kali
seorang itu mulia dalam
hubungannya dengan manusia
dan terpercaya dalam
pergaulannya bersama mereka,
maka akan menjadi tinggi
kedudukannya dan akan meraih
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sementara seseorang tidak akan
bisa meraih predikat orang yang
baik dan mulia pergaulannya,
kecuali jika ia menghiasi dirinya
dengan akhlak-akhlak yang terpuji.
Dan di antara akhlak terpuji yang
terdepan adalah menepati janji.
Sungguh Al-Qur`an telah
memerhatikan permasalahan janji
ini dan memberi dorongan serta
memerintahkan untuk
menepatinya. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
ﻭَﺃَﻭْﻓُﻮﺍ ﺑِﻌَﻬْﺪِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺇِﺫَﺍ ﻋَﺎﻫَﺪْﺗُﻢْ ﻭَﻻَ ﺗَﻨْﻘُﻀُﻮﺍ
ﺍْﻷَﻳْﻤَﺎﻥَ ﺑَﻌْﺪَ ﺗَﻮْﻛِﻴْﺪِﻫَﺎ …
"Dan tepatilah perjanjian dengan
Allah apabila kamu berjanji dan
janganlah kamu membatalkan
sumpah-sumpah itu sesudah
meneguhkannya…." (An-Nahl: 91)
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga
berfirman:
ﻭَﺃَﻭْﻓُﻮﺍ ﺑِﺎﻟْﻌَﻬْﺪِ ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻌَﻬْﺪَ ﻛَﺎﻥَ ﻣَﺴْﺌُﻮْﻻً
"Dan penuhilah janji,
sesungguhnya janji itu pasti
dimintai
pertanggungjawabannya." (Al-
Isra`: 34)
Demikianlah perintah Allah
Subhanahu wa Ta'ala kepada
hamba-hamba-Nya yang beriman
untuk senantiasa menjaga,
memelihara, dan melaksanakan
janjinya. Hal ini mencakup janji
seorang hamba kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala, janji hamba
dengan hamba, dan janji atas
dirinya sendiri seperti nadzar.
Masuk pula dalam hal ini apa yang
telah dijadikan sebagai
persyaratan dalam akad
pernikahan, akad jual beli,
perdamaian, gencatan senjata, dan
semisalnya.
Para Rasul Menepati Janji
Seperti yang telah dijelaskan
bahwa menepati janji merupakan
akhlak terpuji yang terdepan. Maka
tidak heran jika para rasul yang
merupakan panutan umat dan
penyampai risalah Allah
Subhanahu wa Ta'ala kepada
manusia, menghiasi diri mereka
dengan akhlak yang mulia ini.
Inilah Ibrahim 'alaihissalam, bapak
para nabi dan imam ahlut tauhid.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
menyifatinya sebagai orang yang
menepati janji. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman:
ﻭَﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴْﻢَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻭَﻓَّﻰ
"Dan Ibrahim yang selalu
menyempurnakan janji." (An-Najm:
37)
Maksudnya bahwa Nabi Ibrahim
'alaihissalam telah melaksanakan
seluruh apa yang Allah Subhanahu
wa Ta'ala ujikan dan perintahkan
kepadanya dari syariat, pokok-
pokok agama, serta cabang-
cabangnya.
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman tentang Nabi Ismail
'alaihissalam:
ﺇِﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﺻَﺎﺩِﻕَ ﺍﻟْﻮَﻋْﺪِ
"Sesungguhnya ia adalah seorang
yang benar janjinya" (Maryam: 54)
Yakni tidaklah ia menjanjikan
sesuatu kecuali dia tepati. Hal ini
mencakup janji yang ia ikrarkan
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
maupun kepada manusia. Oleh
karena itu, tatkala ia berjanji atas
dirinya untuk sabar disembelih
oleh bapaknya –karena perintah
Allah Subhanahu wa Ta'ala– ia pun
menepatinya dengan
menyerahkan dirinya kepada
perintah Allah Subhanahu wa
Ta'ala. (Taisir Al-Karimir Rahman,
hal. 822 dan 496)
Adapun Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau
memperoleh bagian yang besar
dalam permasalahan ini. Sebelum
diutus oleh Allah, beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam telah dijuluki
sebagai seorang yang jujur lagi
terpercaya. Maka tatkala beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam
diangkat menjadi rasul, tidaklah
perangai yang mulia ini kecuali
semakin sempurna pada dirinya.
Sehingga orang-orang kafir pun
mengaguminya, terlebih mereka
yang mengikuti dan beriman
kepadanya.
Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam pada tahun keenam Hijriah
berangkat dari Madinah menuju
Makkah untuk melaksanakan
umrah beserta para shahabatnya.
Waktu itu Makkah masih dikuasai
musyrikin Quraisy. Ketika sampai di
Al-Hudaibiyah, beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam dan kaum
muslimin dihadang oleh kaum
musyrikin. Terjadilah di sana
perundingan antara Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
kaum musyrikin. Disepakatilah
butir-butir perjanjian yang di
antaranya adalah gencatan senjata
selama sepuluh tahun, tidak boleh
saling menyerang, bahwa kaum
muslimin tidak boleh umrah tahun
ini tetapi tahun depan –di mana ini
dirasakan sangat berat oleh kaum
muslimin karena mereka harus
membatalkan umrahnya–, dan
kalau ada orang Makkah masuk
Islam lantas pergi ke Madinah,
maka dari pihak muslimin harus
memulangkannya ke Makkah.
Bertepatan dengan akan
ditandatanganinya perjanjian
tersebut, anak Suhail –juru runding
orang Quraisy– masuk Islam dan
ingin ikut bersama shahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam ke
Madinah. Suhail pun mengatakan
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bahwa jika anaknya tidak
dipulangkan kembali, dia tidak
akan menandatangani
kesepakatan. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam akhirnya
menandatangani perjanjian
tersebut dan menepati janjinya.
Anak Suhail dikembalikan, dan
muslimin harus membatalkan
umrahnya. Namun di balik
peristiwa itu justru kebaikan bagi
kaum muslimin, di mana dakwah
tersebar dan ada nafas untuk
menyusun kembali kekuatan.
Namun belumlah lama perjanjian
itu berjalan, orang-orang kafir lah
yang justru mengkhianatinya.
Akibat pengkhianatan tersebut,
mereka harus menghadapi
pasukan kaum muslimin pada
peristiwa pembukaan kota Makkah
(Fathu Makkah) sehingga mereka
bertekuk lutut dan menyerah
kepada kaum muslimin. Dengan
demikian, jatuhlah markas
komando musyrikin ke tangan
kaum muslimin. Manusia pun
masuk Islam dengan berbondong-
bondong. Demikianlah di antara
buah menepati janji: datangnya
pertolongan dan kemenangan dari
Allah Subhanahu wa Ta'ala. (Zadul
Ma'ad, 3/262)
Para Salaf dalam Menepati Janji
Dahulu ada seorang shahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam
bernama Anas bin An-Nadhr
radhiyallahu 'anhu. Dia amat
menyesal karena tidak ikut perang
Badr bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia
berjanji jika Allah Subhanahu wa
Ta'ala memperlihatkan kepadanya
medan pertempuran bersama
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, niscaya Allah Subhanahu
wa Ta'ala akan melihat
pengorbanan yang dilakukannya.
Ketika berkobar perang Uhud, dia
berangkat bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam
perang ini kaum muslimin terpukul
mundur dan sebagian lari dari
medan pertempuran. Di sinilah
terbukti janji Anas. Dia terus maju
menerobos barisan musuh
sehingga terbunuh. Ketika perang
telah usai dan kaum muslimin
mencari para syuhada Uhud,
didapati pada tubuh Anas bin An-
Nadhr ada 80 lebih tusukan
pedang, tombak, dan panah,
sehingga tidak ada yang bisa
mengenalinya kecuali saudarinya.
Lalu turunlah ayat Al-Qur`an:
ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴْﻦَ ﺭِﺟَﺎﻝٌ ﺻَﺪَﻗُﻮﺍ ﻣَﺎ ﻋَﺎﻫَﺪُﻭﺍ
ﺍﻟﻠﻪَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓَﻤِﻨْﻬُﻢْ ﻣَﻦْ ﻗَﻀَﻰ ﻧَﺤْﺒَﻪُ ﻭَﻣِﻨْﻬُﻢْ
ﻣَﻦْ ﻳَﻨْﺘَﻈِﺮُ ﻭَﻣَﺎ ﺑَﺪَّﻟُﻮﺍ ﺗَﺒْﺪِﻳْﻼً
"Di antara orang-orang mukmin
itu ada orang-orang yang
menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah; maka di
antara mereka ada yang gugur.
Dan di antara mereka ada (pula)
yang menunggu-nunggu dan
mereka sedikitpun tidak
mengubah (janjinya)." (Al-Ahzab:
23) [Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Surat
Al-Ahzab, 3/484 dan Shahih Sunan
At-Tirmidzi no. 3200]
Diriwayatkan dari 'Auf bin Malik Al-
Asyja'i radhiyallahu 'anhu, dia
berkata: "Dahulu kami –berjumlah–
tujuh atau delapan atau sembilan
orang di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Maka beliau bersabda:
"Tidakkah kalian berbai'at kepada
Rasulullah?" Maka kami
bentangkan tangan kami. Lantas
ada yang berkata: "Kami telah
berbaiat kepadamu wahai
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, lalu atas apa kami
membaiat anda?" Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
ﺃَﻥْ ﺗَﻌْﺒُﺪُﻭﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﻻَ ﺗُﺸْﺮِﻛُﻮﺍ ﺑِﻪِ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻭَﺗُﻘِﻴْﻤُﻮﺍ
ﺍﻟﺼَّﻠَﻮَﺍﺕِ ﺍﻟْﺨَﻤْﺲَ ﻭَﺗَﺴْﻤَﻌُﻮﺍ ﻭَﺗُﻄِﻴْﻌُﻮﺍ –
ﻭَﺃَﺳَﺮَّ ﻛَﻠِﻤَﺔً ﺧَﻔِﻴَّﺔً – ﻭَﻻَ ﺗَﺴْﺄَﻟُﻮﺍ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﺷَﻴْﺌًﺎ
"Kalian menyembah Allah dan tidak
mempersekutukan-Nya sedikitpun,
kalian menegakkan shalat lima
waktu, mendengar dan taat
(kepada penguasa) –dan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengucapkan kalimat yang
samar– (lalu berkata), dan kalian
tidak meminta sesuatu pun kepada
manusia."
'Auf bin Malik radhiyallahu 'anhu
berkata: "Sungguh aku melihat
cambuk sebagian orang-orang itu
jatuh namun mereka tidak
meminta kepada seorang pun
untuk mengambilkannya." (Shahih
Sunan Ibnu Majah no. 2334)
Seperti itulah besarnya
permasalahan menepati janji di
mata generasi terbaik umat ini.
Karena mereka yakin bahwa janji
itu akan dimintai
pertanggungjawabannya di sisi
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan
tiada kalimat yang terucap kecuali
di sisinya ada malaikat pencatat.
Intinya, keimanan yang benar
itulah yang akan mewariskan
segala tingkah laku dan perangai
terpuji.
Hal ini sangat berbeda dengan
orang yang hanya bisa memberi
janji-janji manis yang tidak pernah
ada kenyataannya. Tidakkah
mereka takut kepada adzab Allah
Subhanahu wa Ta'ala karena
ingkar janji? Tidakkah mereka tahu
bahwa ingkar janji adalah akhlak
Iblis dan para munafikin? Ya.
Seruan ini mungkin bisa didengar,
tetapi bagaimana bisa mendengar
orang yang telah mati hatinya dan
dikuasai oleh setannya.
Iblis Menebar Janji Manis
Semenjak Allah Subhanahu wa
Ta'ala menciptakan Adam
'alaihissalam dan memuliakannya
di hadapan para malaikat,
muncullah kedengkian dan
menyalalah api permusuhan pada
diri Iblis. Terlebih lagi ketika Allah
Subhanahu wa Ta'ala
mengutuknya dan mengusirnya
dari surga. Iblis berikrar akan
menyesatkan manusia dengan
mendatangi mereka dari berbagai
arah sehingga dia mendapat
teman yang banyak di neraka
nanti. Berbagai cara licik dilakukan
oleh Iblis. Di antaranya dengan
membisikkan pada hati manusia
janji-janji palsu dan angan-angan
yang hampa.
Pada waktu perang Badr, Iblis
datang bersama para setan
pasukannya dengan membawa
bendera. Ia menjelma seperti
seorang lelaki dari Bani Mudlaj
dalam bentuk seseorang yang
bernama Suraqah bin Malik bin
Ju'syum. Ia berkata kepada kaum
musyrikin: "Tidak ada seorang
manusia pun yang bisa menang
atas kalian pada hari ini. Dan aku
ini sesungguhnya pelindung
kalian." Tatkala dua pasukan siap
bertempur, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam mengambil
segenggam debu lalu
menaburkannya pada wajah
pasukan musyrikin sehingga
mereka lari ke belakang. Kemudian
malaikat Jibril mendatangi Iblis.
Ketika Iblis melihat Jibril dan waktu
itu tangannya ada pada
genggaman seorang lelaki, ia
berusaha melepaskannya
kemudian lari terbirit-birit beserta
pasukannya. Lelaki tadi berkata:
"Wahai Suraqah, bukankah kamu
telah menyatakan pembelaan
terhadap kami?" Iblis berkata:
"Aku melihat apa yang tidak kamu
lihat." (Tafsir Ibnu Katsir, 2/330
dan Ar-Rahiq Al-Makhtum hal. 304)
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
ﻭَﺇِﺫْ ﺯَﻳَّﻦَ ﻟَﻬُﻢُ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥُ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟَﻬُﻢْ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻻَ
ﻏَﺎﻟِﺐَ ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻭَﺇِﻧِّﻲ ﺟَﺎﺭٌ ﻟَﻜُﻢْ
ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺗَﺮَﺍﺀَﺕِ ﺍﻟْﻔِﺌَﺘَﺎﻥِ ﻧَﻜَﺺَ ﻋَﻠَﻰ ﻋَﻘِﺒَﻴْﻪِ
ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺇِﻧِّﻲ ﺑَﺮِﻱْﺀٌ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺇِﻧِّﻲ ﺃَﺭَﻯ ﻣَﺎ ﻻَ ﺗَﺮَﻭْﻥَ
ﺇِﻧِّﻲ ﺃَﺧَﺎﻑُ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﺷَﺪِﻳْﺪُ ﺍﻟْﻌِﻘَﺎﺏِ
"Dan ketika setan menjadikan
mereka memandang baik
pekerjaan mereka dan
mengatakan: 'Tidak ada seorang
manusia pun yang bisa menang
atas kalian pada hari ini, dan
sesungguhnya saya ini adalah
pelindungmu.' Maka tatkala kedua
pasukan itu telah dapat saling
melihat (berhadapan), setan itu
berbalik ke belakang seraya
berkata: 'Sesungguhnya aku
berlepas diri dari kalian;
sesungguhnya aku melihat apa
yang kalian tidak melihatnya;
sesungguhnya aku takut kepada
Allah.' Dan Allah sangat keras siksa-
Nya." (Al-Anfal: 48)
Tanda-tanda Kemunafikan
Menepati janji adalah bagian dari
iman. Barangsiapa yang tidak
menjaga perjanjiannya maka tidak
ada agama baginya. Maka seperti
itu pula ingkar janji, termasuk
tanda kemunafikan dan bukti atas
adanya makar yang jelek serta
rusaknya hati.
ﺁﻳَﺔُ ﺍﻟْﻤُﻨَﺎﻓِﻖِ ﺛَﻼَﺙٌ: ﺇِﺫَﺍ ﺣَﺪَّﺙَ ﻛَﺬَﺏَ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻭَﻋَﺪَ
ﺃَﺧْﻠَﻒَ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺍﺋْﺘُﻤِﻦَ ﺧَﺎﻥَ
"Tanda-tanda munafik ada tiga;
apabila berbicara dusta, apabila
berjanji mengingkari, dan apabila
dipercaya khianat." (HR. Muslim,
Kitabul Iman, Bab Khishalul
Munafiq no. 107 dari jalan Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Seorang mukmin tampil beda
dengan munafik. Apabila dia
berbicara, jujur ucapannya. Bila
telah berjanji ia menepatinya, dan
jika dipercaya untuk menjaga
ucapan, harta, dan hak, maka ia
menjaganya. Sesungguhnya
menepati janji adalah barometer
yang dengannya diketahui orang
yang baik dari yang jelek, dan
orang yang mulia dari yang
rendahan. (Lihat Khuthab
Mukhtarah, hal. 382-383)
Menjaga Ikatan Perjanjian
Walaupun Terhadap Orang Kafir
Orang yang membaca sirah
(sejarah) Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan generasi Salafush Shalih
akan mendapati bahwa menepati
janji dan ikatan perjanjian tidak
terbatas hanya sesama kaum
muslimin. Bahkan terhadap lawan
pun demikian. Sekian banyak
perjanjian yang telah diikat antara
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
dan orang-orang kafir dari Ahlul
Kitab dan musyrikin, tetap beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam jaga,
sampai mereka sendiri yang
memutus tali perjanjian itu. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ﺇِﻻَّ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻋَﺎﻫَﺪْﺗُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴْﻦَ ﺛُﻢَّ ﻟَﻢْ
ﻳَﻨْﻘُﺼُﻮْﻛُﻢْ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﻈَﺎﻫِﺮُﻭﺍ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺃَﺣَﺪًﺍ
ﻓَﺄَﺗِﻤُّﻮﺍ ﺇِﻟَﻴْﻬِﻢْ ﻋَﻬْﺪَﻫُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﻣُﺪَّﺗِﻬِﻢْ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ
ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟْﻤُﺘَّﻘِﻴْﻦَ
"Kecuali orang-orang musyrikin
yang kamu telah mengadakan
perjanjian (dengan mereka) dan
mereka tidak mengurangi sesuatu
pun (dari isi perjanjian)mu dan
tidak (pula) mereka membantu
seseorang yang memusuhi kamu,
maka terhadap mereka penuhilah
janjinya sampai batas waktunya.
Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertakwa." (At-
Taubah: 4)
Dahulu antara Mu'awiyah bin Abi
Sufyan radhiyallahu 'anhuma ada
ikatan perjanjian (gencatan
senjata) dengan bangsa Romawi.
Suatu waktu Mu'awiyah
bermaksud menyerang mereka di
mana dia tergesa-gesa satu bulan
(sebelum habis masa
perjanjiannya). Tiba-tiba datang
seorang lelaki mengendarai
kudanya dari negeri Romawi
seraya mengatakan: "Tepatilah
janji dan jangan berkhianat!"
Ternyata dia adalah seorang
shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang bernama 'Amr bin
'Absah. Mu'awiyah lalu
memanggilnya. Maka 'Amr berkata:
"Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda (yang artinya):
"Barangsiapa antara ia dengan
suatu kaum ada perjanjian maka
tidak halal baginya untuk melepas
ikatannya sampai berlalu masanya
atau mengembalikan perjanjian itu
kepada mereka dengan cara yang
jujur." Akhirnya Mu'awiyah
menarik diri beserta pasukannya.
(Lihat Syu'abul Iman no.
4049-4050 dan Ash-Shahihah
5/472 hadits no. 2357)
Kalau hal itu bisa dilakukan
terhadap kaum musyrikin, tentu
lebih-lebih lagi terhadap kaum
muslimin, kecuali perjanjian yang
maksiat, maka tidak boleh
dilaksanakan. Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
ﻭَﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤُﻮْﻥَ ﻋَﻠﻰَ ﺷُﺮُﻭْﻃِﻬِﻢْ ﺇِﻻَّ ﺷَﺮْﻃًﺎ
ﺣَﺮَّﻡَ ﺣَﻼَﻻً ﺃَﻭْ ﺃَﺣَﻞَّ ﺣَﺮَﺍﻣًﺎ
"Dan kaum muslimin (harus
menjaga) atas persyaratan/
perjanjian mereka, kecuali
persyaratan yang mengharamkan
yang dihalalkan atau menghalalkan
yang haram." (Shahih Sunan At-
Tirmidzi no. 1352, lihat Irwa`ul
Ghalil no. 1303)
Menunaikan Nadzar dan Membayar
Hutang
Di antara bentuk menunaikan janji
adalah membayar hutang apabila
jatuh temponya dan tiba waktu
yang telah ditentukan. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
ﻣَﻦْ ﺃَﺧَﺬَ ﺃَﻣْﻮَﺍﻝَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻳُﺮِﻳْﺪُ ﺃَﺩَﺍﺀَﻫَﺎ ﺃَﺩَّﻯ
ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ، ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺧَﺬَﻫَﺎ ﻳُﺮِﻳْﺪُ ﺇِﺗْﻼَﻓَﻬَﺎ ﺃَﺗْﻠَﻔَﻪُ
ﺍﻟﻠﻪُ
"Barangsiapa yang mengambil
harta manusia dalam keadaan
ingin menunaikannya niscaya Allah
akan (memudahkan untuk)
menunaikannya. Dan barangsiapa
mengambilnya dalam keadaan
ingin merusaknya, niscaya Allah
akan melenyapkannya." (HR.
Ahmad, Al-Bukhari dan Ibnu Majah
dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu, lihat Faidhul Qadir, 6/54)
Adapun menunaikan nadzar, maka
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
ﻳُﻮْﻓُﻮْﻥَ ﺑِﺎﻟﻨَّﺬْﺭِ ﻭَﻳَﺨَﺎﻓُﻮْﻥَ ﻳَﻮْﻣًﺎ ﻛَﺎﻥَ ﺷَﺮُّﻩُ
ﻣُﺴْﺘَﻄِﻴْﺮًﺍ
"Mereka menunaikan nadzar dan
takut akan suatu hari yang
adzabnya merata di mana-
mana." (Al-Insan: 7)
Janji yang Paling Berhak Untuk
Dipenuhi
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
ﺃَﺣَﻖُّ ﺍﻟﺸُّﺮُﻭْﻁِ ﺃَﻥْ ﺗُﻮَﻓُّﻮﺍ ﺑِﻬَﺎ ﻣَﺎ ﺍﺳْﺘَﺤْﻠَﻠْﺘُﻢْ ﺑِﻪِ
ﺍﻟْﻔُﺮُﻭْﺝَ
"Syarat/janji yang paling berhak
untuk ditepati adalah syarat yang
kalian halalkan dengannya
kemaluan." (HR. Al-Bukhari no.
2721)
Yakni syarat/janji yang paling
berhak untuk dipenuhi adalah
yang berkaitan dengan akad nikah
seperti mahar dan sesuatu yang
tidak melanggar aturan agama.
Jika persyaratan tadi bertentangan
dengan syariat maka tidak boleh
dilakukan, seperti seorang wanita
yang mau dinikahi dengan syarat
ia (laki-lakinya) menceraikan
isterinya terlebih dahulu. (Lihat
Fathul Bari, 9/218)
Larangan Ingkar Janji terhadap
Anak Kecil
Sikap mengingkari janji terhadap
siapapun tidak dibenarkan agama
Islam, meskipun terhadap anak
kecil. Jika ini yang terjadi, disadari
atau tidak, kita telah mengajarkan
kejelekan dan menanamkan pada
diri mereka perangai yang tercela.
Al-Imam Abu Dawud
rahimahullahu telah meriwayatkan
hadits dari shahabat Abdullah bin
'Amir radhiyallahu 'anhuma dia
berkata: "Pada suatu hari ketika
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam duduk di tengah-tengah
kami, (tiba-tiba) ibuku
memanggilku dengan
mengatakan: 'Hai kemari, aku akan
beri kamu sesuatu!' Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengatakan kepada ibuku: 'Apa
yang akan kamu berikan
kepadanya?' Ibuku menjawab:
'Kurma.' Lalu Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
ﺃَﻣَﺎ ﺇِﻧَّﻚِ ﻟَﻮْ ﻟَﻢْ ﺗُﻌْﻄِﻪِ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻛُﺘِﺒَﺖْ ﻋَﻠَﻴْﻚِ ﻛِﺬْﺑَﺔٌ
"Ketahuilah, seandainya kamu
tidak memberinya sesuatu maka
ditulis bagimu kedustaan." (HR.
Abu Dawud bab At-Tasydid fil
Kadzib no. 498, lihat Ash-Shahihah
no. 748)
Di dalam hadits ini ada faedah
bahwa apa yang biasa diucapkan
oleh manusia untuk anak-anak
kecil ketika menangis seperti
kalimat janji yang tidak ditepati
atau menakut-nakuti dengan
sesuatu yang tidak ada adalah
diharamkan. ('Aunul Ma'bud, 13/
229)
Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu
'anhu berkata:
ﻻَ ﻳَﺼْﻠُﺢُ ﺍﻟْﻜَﺬِﺏُ ﻓِﻲ ﺟِﺪٍّ ﻭَﻻَ ﻫَﺰْﻝٍ، ﻭَﻻَ ﺃَﻥْ
ﻳَﻌِﺪَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻭَﻟَﺪَﻩُ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﺛُﻢَّ ﻻَ ﻳُﻨْﺠِﺰُ ﻟَﻪُ
"Kedustaan tidak dibolehkan baik
serius atau main-main, dan tidak
boleh salah seorang kalian
menjanjikan anaknya dengan
sesuatu lalu tidak
menepatinya." (Shahih Al-Adabul
Mufrad no. 300)
Larangan Menunaikan Janji Yang
Maksiat
Menunaikan janji ada pada perkara
yang baik dan maslahat, serta
sesuatu yang sifatnya mubah/
boleh menurut syariat. Adapun jika
seorang memberikan janji dengan
suatu kemaksiatan atau
kemudaratan, atau mengikat
perjanjian yang mengandung
bentuk kejelekan dan permusuhan,
maka menepati janji pada perkara-
perkara ini bukanlah sifat orang-
orang yang beriman, dan wajib
untuk tidak menunaikannya. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
ﻻَ ﻭَﻓَﺎﺀَ ﻟِﻨَﺬْﺭٍ ﻓِﻲ ﻣَﻌْﺼِﻴَﺔِ ﺍﻟﻠﻪِ
"Tidak boleh menepati nadzar
dalam maksiat kepada Allah." (HR.
Ahmad dari sahabat Jabir
radhiyallahu 'anhu, lihat Shahihul
Jami' no. 7574)
Surga Firdaus bagi yang Menepati
Janji
Tidak akan masuk surga kecuali
jiwa yang beriman lagi bersih. Dan
surga bertingkat-tingkat
keutamaannya, sedangkan yang
tertinggi adalah Firdaus. Darinya
memancar sungai-sungai yang ada
dalam surga dan di atasnya adalah
'Arsy Ar-Rahman. Tempat
kemuliaan yang besar ini
diperuntukkan bagi orang-orang
yang memiliki sifat-sifat yang baik,
di antaranya adalah menepati janji.
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻫُﻢْ ﻟِﺄَﻣَﺎﻧَﺎﺗِﻬِﻢْ ﻭَﻋَﻬْﺪِﻫِﻢْ ﺭَﺍﻋُﻮْﻥَ
"Dan orang-orang yang
memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya." (Al-
Mu`minun: 8)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda (yang artinya): "Jagalah
enam perkara dari kalian niscaya
aku jamin bagi kalian surga;
jujurlah bila berbicara, tepatilah
jika berjanji, tunaikanlah apabila
kalian diberi amanah, jagalah
kemaluan, tundukkanlah
pandangan dan tahanlah tangan-
tangan kalian (dari sesuatu yang
dilarang)." (HR. Ahmad, Ibnu
Hibban, Al-Hakim dan Al-Baihaqi
dalam Syu'abul Iman, lihat Ash-
Shahihah no. 1470)
Ingkar Janji Mendatangkan
Kutukan dan Menjerumuskan ke
dalam Siksa
Siapapun orangnya yang masih
sehat fitrahnya tidak akan suka
kepada orang yang ingkar janji.
Karenanya, dia akan dijauhi di
tengah-tengah masyarakat dan
tidak ada nilainya di mata mereka.
Namun anehnya ternyata masih
banyak orang yang jika berjanji
hanya sekedar igauan belaka. Dia
tidak peduli dengan kehinaan yang
disandangnya, karena orang yang
punya mental suka dengan
kerendahan tidak akan risih
dengan kotoran yang menyelimuti
dirinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
ﺇِﻥَّ ﺷَﺮَّ ﺍﻟﺪَّﻭَﺍﺏِّ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻛَﻔَﺮُﻭﺍ ﻓَﻬُﻢْ
ﻻَ ﻳُﺆْﻣِﻨُﻮْﻥَ. ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻋَﺎﻫَﺪْﺕَ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﺛُﻢَّ ﻳَﻨْﻘُﻀُﻮْﻥَ
ﻋَﻬْﺪَﻫُﻢْ ﻓِﻲ ﻛُﻞِّ ﻣَﺮَّﺓٍ ﻭَﻫُﻢْ ﻻَ ﻳَﺘَّﻘُﻮْﻥَ
"Sesungguhnya binatang
(makhluk) yang paling buruk di sisi
Allah ialah orang-orang kafir,
karena mereka itu tidak beriman.
(Yaitu) orang-orang yang kamu
telah mengambil perjanjian dari
mereka, sesudah itu mereka
mengkhianati janjinya pada setiap
kalinya, dan mereka tidak takut
(akibat-akibatnya)." (Al-Anfal:
55-56)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
ﻟِﻜُﻞِّ ﻏَﺎﺩِﺭٍ ﻟِﻮَﺍﺀٌ ﻋِﻨْﺪَ ﺇِﺳْﺘِﻪِ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ
"Bagi setiap pengkhianat (akan
ditancapkan) bendera pada
pantatnya di hari kiamat." (HR.
Muslim bab Tahrimul Ghadr no.
1738 dari Abu Sa'id Al-Khudri
radhiyallahu 'anhu)
Khatimah
Demikianlah indahnya wajah Islam
yang menjunjung tinggi etika dan
adab pergaulan. Ini sangat
berbeda dengan apa yang
disaksikan oleh dunia saat ini
berupa kecongkakan Yahudi,
Nasrani, dan musyrikin serta
pengkhianatan mereka terhadap
kaum muslimin.
Saat menapaki sejarah, kita bisa
menyaksikan, para pengkhianat
perjanjian akan berakhir dengan
kemalangan. Tentunya tidak lupa
dari ingatan kita tentang nasib tiga
kelompok Yahudi Madinah, yaitu
Bani Quraizhah, Bani An-Nadhir,
dan Bani Qainuqa' yang berkhianat
setelah mengikat tali perjanjian
dengan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam yang berujung
dengan kehinaan. Di antara
mereka ada yang dibunuh, diusir,
dan ditawan.
Mungkin watak tercela itu sangat
melekat pada diri mereka karena
tidak adanya keimanan yang
benar. Tetapi bagi orang-orang
yang mendambakan kebahagiaan
hakiki dan ditolong atas musuh-
musuhnya, mereka menjadikan
etika yang mulia sebagai salah satu
modal dari sekian modal demi
tegaknya kalimat Allah Subhanahu
wa Ta'ala dan terwujudnya
harapan. Yakinlah, Islam akan
senantiasa tinggi, dan tiada yang
lebih tinggi darinya.